Pengobatan TBC harus dilakukan secara tepat sehingga secara tidak
langsung akan mencegah penyebaran penyakit ini. Berikut adalah beberapa
obat yang biasanya digunakan dalam pengobatan penyakit TBC:
1) Isoniazid (INH)
Obat yang bersifat bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri)
ini merupakan prodrug yang perlu diaktifkan dengan enzim katalase untuk
menimbulkan efek. Bekerja dengan menghambat pembentukan dinding sel
mikrobakteri (Anonim f, 2010).
2) Rifampisin / Rifampin
Bersifat bakterisidal (membunuh bakteri) dan bekerja dengan mencegah
transkripsi RNA dalam proses sintesis protein dinding sel bakteri
(Anonim f, 2010).
3) Pirazinamid
Bersifat bakterisidal dan bekerja dengan menghambat pembentukan asam
lemak yang diperlukan dalam pertumbuhan bakteri (Anonim f, 2010).
4) Streptomisin
Termasuk dalam golongan aminoglikosida dan dapat membunuh sel mikroba dengan cara menghambat sintesis protein (Anonim f, 2010).
5) Ethambutol
Bersifat bakteriostatik. Bekerja dengan mengganggu pembentukan
dinding sel bakteri dengan meningkatkan permeabilitas dinding (Anonim f,
2010).
6) Fluoroquinolone
Fluoroquinolone adalah obat yang menghambat replikasi bakteri M. tuberculosis. Replikasi dihambat melalui interaksi dengan enzim gyrase, salah enzim yang mutlak diperlukan dalam proses replikasi bakteri M. Tuberculosis. Enzim ini tepatnya bekerja pada proses perubahan struktur DNA dari bakteri, yaitu perubahan dari struktur double helix menjadi super coil (Gambar 5). Dengan struktur super coil
ini DNA lebih mudah dan praktis disimpan di dalam sel. Pada proses
tersebut enzim gyrase berikatan dengan DNA, dan memotong salah satu
rantai DNA dan kemudian menyambung kembali (Gambar 5). Dalam proses ini
terbentuk produk sementara (intermediate product) berupa ikatan antara
enzim gyrase dan DNA (kompleks gyrase-DNA) (Anonim g, 2008)
Fluoroquinolone mamiliki kemampuan untuk berikatan dengan kompleks
gyrase-DNA ini, dan membuat gyrase tetap bisa memotong DNA, tetapi tidak
bisa menyambungnya kembali. Akibatnya, DNA bakteri tidak akan berfungsi
sehingga akhirnya bakteri akan mati. Selain itu, ikatan fluoroquinolone
dengan kompleks gyrase-DNA merupakan ikatan reversible, artinya bisa
lepas kembali sehingga bisa di daur ulang. Akibatnya, dengan jumlah yang
sedikit fluoroquinolone bisa bekerja secara efektif (Anonim g, 2008)
Dalam terapi TBC, biasanya dipilih pemberian dalam bentuk kombinasi
dari 3-4 macam obat tersebut. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari
terjadinya resistensi bakteri terhadap obat. Dosis yang diberikan
berbeda untuk tiap penderita, bergantung tingkat keparahan infeksi.
Karena bakteri tuberkulosa sangat lambat pertumbuhannya, maka penanganan
TBC cukup lama, antara 6 hingga 12 bulan yaitu untuk membunuh seluruh
bakteri secara tuntas (Anonim f, 2010).
Pengobatan harus dilakukan secara terus-menerus tanpa terputus,
walaupun pasien telah merasa lebih baik / sehat. Pengobatan yang
terhenti ditengah jalan dapat menyebabkan bakteri menjadi resisten. Jika
hal ini terjadi, maka TBC akan lebih sukar untuk disembuhkan dan perlu
waktu yang lebih lama untuk ditangani. Untuk membantu memastikan
penderita TBC meminum obat secara teratur dan benar, keterlibatan
anggota keluarga atau petugas kesehatan diperlukan yaitu mengawasi dan
jika perlu menyiapkan obat yang hendak dikonsumsi. Oleh karena itu,
perlunya dukungan terutama dari keluarga penderita untuk menuntaskan
pengobatan agar benar-benar tercapai kesembuhan (Anonim f, 2010).
Obat diminum pada waktu yang sama setiap harinya untuk memudahkan
penderita dalam mengkonsumsi obat. Lebih baik obat diminum saat perut
kosong sekitar setengah jam sebelum makan atau menjelang tidur (Anonim
f, 2010).
Selain dengan menggunakan obat-obatan tersebut, pengobatan penyakit
akibat infeksi bakteri mycobacterium ini dapat dilakukan dengan
menggunakan jahe dan mengkudu. Jahe dan mengkudu dapat menyembuhkan
penyakit yang disebabkan bakteri berbentuk batang tersebut karena kedua
bahan itu kaya akan senyawa antibakteri. Misalnya jahe mempunyai
gingerol yang bersifat antibakteri. Demikian juga mengkudu yang
mengandung senyawa aktif antrakuinon, acubin, asperuloside, dan
alizarin. Keempat senyawa itu juga berkhasiat untuk membunuh bakteri
tuberculosis (Anonim h, 2010)
Kedua bahan itu mempunyai sifat antibakteri lebih kuat ketika
disatukan. Sebaliknya bila dipisah, kekuatannya berkurang. Jahe dan
mengkudu juga bersifat imunostimulan alias meningkatkan daya tahan
tubuh. Duet mengkudu dan jahe menyusul meniran yang lebih dulu diuji
klinis sebagai penyembuh tuberkulosis. Phyllanthus niruri itu
terbukti sebagai antituberkulosis. Pemberian 50 mg kapsul meniran selama
3 kali sehari menyembuhkan TB pada pekan ke-6 atau lebih cepat 8 minggu
dibandingkan pasien yang tidak mengkonsumsi meniran.
Meniran juga bersifat sebagai imunomodulator alias penguat sistem
kekebalan tubuh. Ketika kekebalan tubuh meningkat, bibit-bibit penyakit
yang masuk ke dalam tubuh dapat dilemahkan. Jika sel-sel imun seseorang
diganggu, maka orang tersebut akan rentan sakit (Anonim h, 2010).
Perpaduan ekstrak jahe dan mengkudu itu mampu menyempurnakan obat
standar resep dokter seperti rifampisin serta pirazinamid yang selama
ini digunakan untuk mengatasi TB. Untuk yang tidak cocok mengkonsumsi
obat-obatan dokter tersebut, menyebabkan gangguan hati. Namun, apabila
penggunaannya disertai dengan konsumsi jahe dan mengkudu, hal tersebut
tidak akan terjadi. Ekstrak jahe dan mengkudu juga mencegah resistensi
(Anonim h, 2010)
RESISTENSI MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS
Bakteri Mycobacterium tuberculosis secara alami resisten
terhadap berbagai antibiotik yang telah ada sebelumnya. Hal ini
menyebabkan sulitnya pengobatan penyakit TB secara tuntas. Sifat
resisten ini dipengaruhi oleh adanya enzim-enzim yang mampu memodifikasi
obat seperti b-lactamase dan aminoglycosida acetyl transferase. Jika
diterapi dengan benar, tuberkulosis dapat disembuhkan yang disebabkan oleh kompleks Mycobacterium tuberculosis,
yang peka terhadap obat, praktis dapat disembuhkan. Tanpa terapi
tuberkulosa akan mengakibatkan kematian dalam lima tahun pertama pada
lebih dari setengah kasus (Palit, 2010)
Mycobacterium tuberculosis resisten terhadap fluoroquinolone
melalui struktur unik protein MfpA. Berdasarkan analisa model dengan
menggunakan komputer (computer modeling) ditemukan bahwa protein MfpA
bisa masuk ke dalam bagian aktif (active site) dari enzim gyrase,
seperti halnya DNA. Ini disebabkan karena protein MfpA memiliki struktur
yang sama dengan DNA. Akan tetapi berbeda dengan interaksi gyrase
dengan DNA, interaksi gyrase dengan MfpA mengakibatkan gyrase tidak bisa
berinteraksi dengan fluoroquinolone. Dengan kata lain, kompleks
MfpA-gyrase tidak bisa berinterkasi dengan fluoroquinolone, sehingga
fluoroquinolone tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya (Anonim g,
2008).
Interaksi gyrase dan DNA penting dalam proses replikasi bakteri M. tuberculosis.
Interaksi protein MfpA dengan gyrase, secara otomatis juga menghambat
interaksi gyrase dengan DNA. Dengan kata lain, protein MfpA merupakan
inhibitor dari enzim gyrase, yakni menghambat aktivitas enzim gyrase itu
senditi. Hambatan fungsi enzim gyrase ini mengakibatkan proses
replikasi M. tuberculosis terganggu. Pada kenyataannya memang demikian. Artinya, perkembangbiakan bakteri M. tuberculosis
menurun, akan tetapi hal ini lebih baik bagi bakteri dari pada mati
karena obat fluoroquinolone. Dan biasanya bakteri yang resisten terhadap
suatu obat bukan secara tiba-tiba, melainkan mulai dari jumlah yang
sedikit dan kemudian perlahan-lahan bertambah sesuai dengan perjalanan
waktu (Anonim g, 2008).
Mekanisme fungsi protein MfpA dalam proses resistensi M. tuberculosis
sangat unik. Pada umumnya resistensi disebabkan oleh penguraian obat
anti-bakteri oleh enzim atau protein tertentu. Akan tetapi tidak
demikian halnya dengan protein MfpA. Protein ini hanya memproteksi
interaksi obat dengan targetnya. MfpA adalah protein yang pertama kali
dibuktikan mempunyai fungsi demikian (Anonim g, 2008).
Pada umumnya kegagalan pengobatan TBC terjadi disebabkan terapi yang
terputus karena pasien merasa sudah sembuh. Masalah yang sering timbul
adalah lamanya waktu pengobatan. Obat untuk TBC harus dimakan sedikitnya
enam bulan. Sementara biasanya setelah makan obat selama dua bulan,
pasien malas meneruskan pengobatan karena merasa sembuh dan tidak
merasakan gejala lagi. Padahal apabila pengobatan berhenti di tengah
jalan, maka tidah hanya penyakitnya saja yang tidak sembuh dengan
tuntas, tetapi juga menyebabkan bakteri TBC menjadi kebal terhadap obat
yang digunakan. Ketiadaan biaya juga membuat seseorang tidak berobat,
karena tidak mengetahui program pemerintah yang menggratiskan obat TBC
di seluruh Puskesmas di Indonesia. Penyakit ini sering dianggap enteng
oleh penderita karena masih bisa bekerja seperti biasa, namun tanpa
disadari keparahan penyakit yang semakin meningkat sebanding dengan
perjalanan waktu dan menurunnya daya tahan tubuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar